KEWENANGAN DESA

Cakupan atau Ruang Lingkup Kewenangan lokal skala desa dan Kriteria menetapkan kewenangan lokal berskala desa. Kewenangan lokal sk...


Cakupan atau Ruang Lingkup Kewenangan lokal skala desa dan Kriteria menetapkan kewenangan lokal berskala desa.

Kewenangan lokal skala desa berlandasakan pada asas subsidiaritas. Dalam penjelasan UU No. 6/2014, subsidiaritas mengandung makna penetapan kewenangan lokal berskala desa menjadi kewenangan desa. Penetapan itu berbeda dengan penyerahan, pelimpahan atau pembagian yang lazim dikenal dalam asas desentralisasi maupun dekonsentrasi. Sepadan dengan asas rekognisi yang menghormati dan mengakui kewenangan asal-usul desa, penetapan ala subsidiaritas berarti UU secara langsung menetapkan sekaligus memberi batas-batas yang jelas tentang kewenangan desa tanpa melalui mekanisme penyerahan dari kabupaten/kota.

Namun penetapan kewenangan lokal desa tidak bersifat absolut. Penjelasan UU No. 6/2014 menegaskan “kewenangan lokal berskala Desa” adalah kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat Desa yang telah dijalankan oleh Desa atau mampu dan efektif dijalankan oleh Desa atau yang muncul karena perkembangan Desa dan prakasa masyarakat Desa, antara lain tambatan perahu, pasar Desa, tempat pemandian umum, saluran irigasi, sanitasi lingkungan, pos pelayanan terpadu, sanggar seni dan belajar, serta perpustakaan Desa, embung Desa, dan jalan Desa. Berbagai jenis kewenangan lokal ini merupakan contoh konkret. Namun kewenangan lokal tidak terbatas pada contoh itu, melainkan sangat terbuka dan bisa berkembang lebih banyak sesuai dengan konteks lokal dan prakarsa masyarakat.

Ada sejumlah prinsip dasar dalam mengatur dan mengurus kewenangan lokal. Pertama, mengeluarkan dan menjalankan aturan main (peraturan), tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, sehingga mengikat kepada pihak-pihak yang berkepentingan. Misalnya desa menetapkan besaran jasa pelayanan air minum yang dikelola BUMDes Air Bersih; atau desa menetapkan larangan truck besar masuk ke jalan kampung.
Kedua, desa bertanggungjawab merencanakan, menganggarkan dan menjalankan kegiatan pembangunan atau pelayanan, serta menyelesaikan masalah yang muncul. Sebagai contoh, karena Posyandu merupakan kewenangan lokal, maka desa bertanggungjawab melembagakan Posyandu ke dalam perencanaan desa, sekaligus menganggarkan untuk kebutuhan Posyandu, termasuk menyelesaikan masalah yang muncul.

Ketiga, memutuskan dan menjalankan alokasi sumber daya (baik dana, peralatan maupun personil) dalam kegiatan pembangunan atau pelayanan, termasuk membagi sumberdaya kepada penerima manfaat. Sebagai contoh, desa memutuskan alokasi dana sekian rupiah dan menetapkan personil pengelola Posyandu.

Contoh lain: desa memberikan beasiswa sekolah bagi anak-anak desa yang pintar (berprestasi) tetapi tidak mampu (miskin).

Keempat, kewenangan desa lebih banyak berorientasi pada pelayanan dan pemberdayaan daripada kontrol, penguasaan dan izin.

Kelima, cakupan pengaturan bersifat lokal di lingkup desa dan hanya untuk masyarakat setempat. Desa tidak berwenang mengeluarkan izin untuk warga maupun kepada pihak investor. Kewenangan mengeluarkan izin berada pada pemerintah supradesa.

Keenam, desa tidak berwenang melakukan pungutan terhadap obyek yang telah dipungut atau obyek yang menjadi kewenangan kabupaten/kota. Desa berwenang melakukan pungutan atas obyek-obyek kewenangan desa seperti retribusi pasar desa, restribusi tambatan perahu, retribusi karamba ikan, retribusi pemandian umum, retribusi pelayanan air bersih, retribusi obyek wisata desa, dan lain-lain.

Posyandu dan PAUD menjadi kewenangan lokal berskala desa
Baik Posyandu dan PAUD dapat dikategorikan sebagai kewenangan lokal skala desa karena skalanya yang lokal serta lebih efektif dan efisien jika diatur dan diurus oleh desa. Desa merencanakan, membiayai, menjalankan, dan membina Posyandu dan PAUD. Tentu desa mempunyai keterbatasan di bidang teknis kesehatan dalam Posyandu dan teknis pendidikan dalam PAUD. Jika desa mempunyai kewenangan mengatur dan mengurus Posyandu dan PAUD, maka Dinas Kesehatan berwenang dan berkewajiban melakukan pembinaan teknis dibidang kesehatan terhadap Posyandu, termasuk membinabidan desa. Sedangkan Dinas Pendidikan melakukan pembinaan teknis di bidang pendidikan terhadap PAUD.

Pertanyaan :
Jika kewenangan lokal desa tidak boleh di luar, mengapa harus ada kewenangan desa oleh kabupaten?

Penjelasan,
UU No. 6/2014 pada dasarnya menetapkan bahwa bukan pemerintah menyerahkan kewenangan lokal berskala desa. Karena kewenangan lokal berskala desa sangat beragam dan tergantung pada kondisi dan kebutuhan lokal, maka UU Desa hanya menetapkan prinsip-prinsip dasar dan beberapa contoh nyata kewenangan itu. Atas dasar UU Desa dan PP No. 43/2014, Permendesa No. 1/2015 telah memberikan pedoman dalam bentuk daftar kewenangan lokal berskala desa serta proses inventarisasi yang selanjutkan dituangkan dalam Peraturan Bupati/Walikota. Tim Pengkajian dan Inventarisasi yang dibentuk Bupati/Walikota harus melibatkan desa dalam proses inventarisasi, sekaligus dapat mengidentifikasi program-program kegiatan SKPD berskala lokal desa yang selama ini telah dijalankan.
Prinsip dasar yang harus dipegang, bahwa kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa bukanlah milik Kabupaten/Kota, dan Peraturan Bupati/ Walikota tersebut bukanlah pengaturan yang menyerahkan atau melimpahkan kewenangan dari Kabupaten/Kota kepada Desa. Peraturan Bupati/Walikota itu merupakan daftar kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa yang memberikan pedoman bagi desa untuk memilih dan menetapkannya sebagai kewenangan desa dengan Peraturan Desa.

Pertanyaan :

Dengan adanya kewenangan lokal berskala desa, apakah berarti pemerintah melalui kementerian/ lembaga tidak boleh masuk ke desa?

Penjelasan ;
Pertanyaan ini berkaitan dengan hubungan pemerintah dan desa maupun kewenangan sektoral dan kewenangan lokal. Pada dasarnya sesuai dengan asas subsidiaritas, UU Desa menegaskan bahwa kewenangan lokal diatur dan diurus sendiri oleh desa. Pemerintah berkewajiban memfasilitasi desa dalam menjalankan kewenangan lokal berskala desa. Norma ini ditegaskan dalam UU Desa dengan tujuan menghindari intervensi pemerintah yang cenderung merusak desa, sekaligus untuk memperkuat desa sebagai subyek mandiri dalam pembangunan.

Tetapi ada dua hal penting terkait dengan kewenangan pemerin­tah yang bakal bersinggungan dengan kewenangan lokal berska­la desa. Pertama, PP No. 43/2014 Pasal 122 ayat (1) menegas­kan: Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan pemerintah daerah kabupaten/kota menyelenggarakan program sektoral dan program daerah yang masuk ke Desa. Program sektoral ini dimaksudkan untuk menjaga dan mewujudkan kepentingan nasional, K/L tentu berwenang menjalankan kewenangan sek­toral yang mau tidak mau akan masuk ke ranah desa. Sebagai contoh, untuk mewujudkan ketahanan pangan dan peningkatan produktivitas rakyat, Kementerian Pertanian akan masuk ke ranah petani yang hidup dan berkomunitas di desa; Kemente­rian Kelautan dan Perikanan akan masuk ke desa-desa pesisir untuk memberdayakan nelayan untuk peningkatan produkti­vitas nelayan; demikian juga dengan Kementerian ESDM yang berkepentingan terhadap peningkatan energi lokal yang terba­rukan.

Namun program sektoral dan program daerah tersebut tidak boleh “terjun bebas” dilaksanakan sendiri oleh pemerintah atau pemerintah daerah. PP 43/2014 menegaskan bahwa program sektoral dan program diinformasikan kepada Pemerintah Desa untuk diintegrasikan ke dalam pembangunan Desa. Program tersebut harus disatukan (integrasi) dan dilembagakan ke dalam pembangunan desa, agar terjadi sinergi antara teknis program dengan kelembagaan, sekaligus juga memperkuat kepemilikan, otoritas, tanggung jawab dan keberlanjutan program ke dalam sistem desa setelah program berkahir.

Kedua, jika program pemerintah dan pemerintah daerah ber­skala lokal desa, maka wajib dikoordinasikan dan/atau didel­egasikan pelaksanaannya kepada Desa. Intervensi pemerintah dibolehkan ketika mekanisme subsidiaritas tidak berjalan, keti­ka desa tidak mempunyai kemampuan teknis maupun finansial untuk menyelenggarakan kewenangan lokal berskala desa. Se­bagai contoh adalah membangun BUMDesa, pasar desa, kantor/ balai desa, Posyandu, Poskesdesa, dan lain-lain. Pada prinsipnya program-program ini harus didelegasikan dan dilaksanakan oleh desa. Bahkan untuk menghindari pelaksanaan program yang bersifat top down, dan hal ini bisa melemahkan kemandirian desa, program-program pemerintah berskala desa ini lebih baik mengacu pada Pasal 119 PP No. 43/2014, yakni program-pro­gram tersebut telah direncanakan oleh desa dan diusulkan ke­pada pemerintah.

Pertanyaan :
Bagaimana kedudukan tanah bengkok?

Penjelasan ;
Sebagian besar desa, atau yang disebut nama lain, di Indonesia memiliki tanah adat atau tanah asal-usul yang sudah menjadi hak milik desa sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia lahir pada tahun 1945. Nagari di Sumatera Barat maupun negeri di Maluku memiliki tanah adat/ulayat, baik ulayat keluarga, ulayat suku maupun ulayat nagari dan ulayat negeri. Sementara desa-desa di Jawa di masa lalu sebenarnya mempunyai berbagai jenis tanah asal-usul: titisoro untuk orang miskin, paguron untuk gaji para guru, pangonan untuk gembala ternak, sengkeran untuk pelestarian tanaman langka, segahan untuk jamuan tamu dari luar yang datang ke desa, dan palungguh atau bengkok untuk penghasilan kepala desa dan pamong desa, tanah kuburan, maupun tanah-tanah lain untuk fasilitas umum.

Tetapi lambat laun berbagai jenis tanah itu hilang satu per satu karena beralih fungsi baik untuk pemukiman, investasi maupun diminta oleh pemerintah untuk membangun fasilitas publik. Dari sekian tanah desa, yang masih tersisa dalam jumlah besar adalah tanah bengkok atau tanah palungguh.
Pengaturan tentang Tanah Bengkok tersebut dimulai dari Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1982, tentang Sumber pendapatan dan Kekayaan Desa Pengurusan dan pengawasannya. Dalam Pasal 3 dinyatakan bahwa yang disebut kekayaan desa terdiri dari: Tanah kas desa, termasuk tanah bengkok, Pemandian umum yang diurus oleh desa, Pasar desa, Obyek-obyek rekreasi yang diurus oleh desa, Bangunan milik desa, dan Lain-lain kekayaan milik pemerintah desa.

Intruksi Menteri Dalam Negeri Nomor 26 Tahun 1992 tentang perubahan Status Tanah Bengkok dan yang sejenis menjadi kas Desa, membuat pengurusan dan pengawasan tanah bengkok masuk menjadi tanah kas desa.

Dua pengaturan tersebut pada dasarnya mulai melakukan perubahan dari tanah bengkok menjadi tanah kas desa. Hal ini merupakan campur tangan pemerintah yang sebenarnya tidak diperbolehkan oleh prinsip kewenangan asal-usul. UU No. 6/2014 menegaskan bahwa tanah kas desa tersebut menjadi kewenangan berdasarkan hak asal-usul desa, sehingga tanah bengkok (yang menjadi bagian dari tanah kas desa) juga merupakan hak asal-usul desa, seperti halnya tanah adat.

Namun pemerintah bisa melakukan pengaturan sepanjang bermakna perlindungan (proteksi) terhadap tanah kas desa, termasuk tanah bengkok, untuk menjaga kelestarian hak asal-usul. Tindakan ini perlu dilakukan karena di masa lalu banyak tanah bengkok yang hilang dan beralih fungsi tanpa akuntabilitas yang jelas. Pengaturan ini dilakukan dengan Permendagri No. 4/2007. Pasal 15 Permendagri itu antara lain menegaskan:

(1) Kekayaan Desa yang berupa tanah Desa tidak diperbolehkan dilakukan    pelepasan hak kepemilikan kepada pihak lain, kecuali diperlukan untuk 
       kepentingan umum.

(2)  Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  dilakukan setelah mendapat ganti rugi sesuai harga yang menguntungkan    desa dengan memperhatikan harga pasar dan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).

(3) Penggantian ganti rugi berupa uang harus digunakan untuk membeli tanah  lain yang lebih baik dan berlokasi di Desa setempat.

(4) Pelepasan hak kepemilikan tanah desa sebagaimana dimaksud pada ayat (1)  ditetapkan dengan Keputusan Kepala Desa.

 (5) Keputusan Kepala Desa sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diterbitkan  setelah mendapat persetujuan BPD dan mendapat ijin tertulis dari    Bupati/Walikota dan Gubernur.

Pengertian kepentingan umum pada saat ini berpedoman pada Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum; 4. Pasal 10 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum sebagaimana dimaksud angka 3, digunakan untuk:

(a)    Pertahanan dan keamanan nasional;

(b)  Jalan umum, jalan tol, terowongan, jalur kereta api, stasi­un kereta api, dan 
        fasilitas operasi kereta api;

(c)  Waduk, bendungan, bendung, irigasi, saluran air minum, saluran pembuangan  air dan sanitasi;

(d)    Bangunan pengairan lainnya;

(e)    Pelabuhan, bandar udara dan terminal;
  
(f)      Infrastruktur minyak, gas dan panas bumi;

(g)    Pembangkit, transmisi, gardu, jaringan dan distribusi tenaga listrik;

(h)    Jaringan telekomunikasi dan informatika pemerintah;

(i)     Tempat pembuangan dan pengelolaan sampah;

(i)      Rumah sakit pemerintah/pemerintah daerah;

(j)      Fasilitas keselamatan umum; l. Tempat Pemakaman Umum (TPU);

(k)     Fasilitas sosial, fasilitas umum, dan ruang terbuka hijau publik;

(l)       Cagar alam dan cagar budaya;

(m)   Kantor pemerintah/pemerintah daerah/desa;

(n)   Penataan pemukiman kumuh perkotaan dan/atau konsol­idasi tanah, serta
        perumahan untuk masyarakat;

(o)   Berpenghasilan rendah dengan status sewa;

(p)   Prasarana pendidikan dan sekolah pemerintah/pemerin­tah daerah;

(r)   Prasarana olahraga pemerintah/pemerintah daerah; dan

(s)   Pasar umum dan lapangan parkir umum.


Pertanyaan :
Tanah bengkok sudah digadaikan, apakah hal ini melanggar
 UU Desa dan bagaimana solusinya?

Penjelasan ;
Tanah bengkok dasarnya merupakan tanah jabatan yang menjadi hak kelola bagi kepala desa dan perangkat desa selama mereka memegang jabatan itu. Pemegang hak kelola tanah bengkok itu berhak menyewakan kepada pihak lain dalam kurun waktu masa jabatan yang bersangkutan. Tindakan menggadaikan sebenarnya mirip dengan menyewakan. Tetapi menggadaikan tanah mempunyai implikasi hukum yang serius jika kepala desa dan perangkat desa yang bersangkutan tidak mampu menebus kembali dari pegadaian. Tanah bengkok itu bisa disita, meskipun penyitaan ini tidak mudah secara hukum. Instansi pegadaian milik negara seharusnya mengetahui status tanah bengkok yang hanya menjadi hak kelola sementara kepala desa dan perangkat desa selama mereka menjabat. Dengan demikian, pegadaian tidak bisa secara gegabah dieksekusi oleh lembaga pegadaian negara. Tetapi kalau ada kepala desa dan perangkat desa yang melakukan gadai di “bawah tangan”, maka hal itu termasuk kategori penyimpangan.

Pertanyaan :

Bolehkah Desa menarik retribusi berdasarkan Permendesa
PDTT No. 1/2015 tentang Kewenangan Lokal itu?

Penjelasan ;
Pemendesa No. 1/2015 akan berkaitan dengan Permendagri yang mengatur tentang keuangan desa maupun aset/kekayaan desa. Pada dasarnya desa dilarang menarik pungutan apapun terhadap jasa layanan administrasi yang menjadi kewenangan pemerintah dan/atau pemerintah kabupaten/kota. Mengapa demikian? Pertama, pungutan tidak boleh dilakukan secara ganda (dua kali atau lebih). Jika Pemerintah Kabupaten/Kota sudah melakukan pungutan atas layanan maka desa tidak boleh melakukan pungutan. Kedua, pungutan dilakukan oleh pihak yang berwenang mengeluarkan izin atau akta. Sedangkan desa berkedudukan sebagai pelaksana penugasan yang mengeluarkan surat keterangan/rekomendasi.

Tetapi desa berwenang melakukan pungutan dalam bentuk retribusi desa terhadap jasa yang diberikan oleh desa sepanjang terkait dengan obyek-obyek tertentu yang menjadi kewenangan dan aset desa, misalnya retribusi tambatan perahu, retribusi pasar desa, iuran pelayanan air bersih atau listrik yang disediakan desa, retribusi pemandian umum milik desa, retribusi tempat pelelangan ikan milik desa, dan sebagainya. Besaran dan mekanisme retribusi setiap jenis obyek itu harus diatur dalam Peraturan Desa.

Pertanyaan :

Apa dan sejauh mana kewenangan desa dalam pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan?

Penjelasan ;
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan kewenangan pemerintah daerah. Desa menjalankan penugasan atau membantu menarik PBB kepada obyek pajak di wilayahnya. Atas penugasan itu, desa memperoleh upah pungut, dan juga memperoleh bagi hasil yang besarannya berbeda-beda.

Pada dasarnya wajib pajak baik perorangan, yayasan, maupun perusahaan dapat membayar PBB langsung kepada pemerintah daerah, tanpa melalui desa. Desa tidak berwenang dan tidak boleh memaksa mereka membayar PBB melalui Desa. Di luar pajak, desa dapat mengambil iuran dan pungutan pada objek yang menjadi kewenangan desa sebagai pendapatan asli desa.

Pertanyaan :

Kapan Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan
Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala
Desa ditetapkan?

Penjelasan ;
Penerbitan Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa tentu sangat bergantung pada Bupati/Walikota. Peraturan ini tentu harus segera diterbitkan karena akan menjadi landasan bagi penyusunan perencanaan pembangunan desa. Kalau Bupati/ Walikota tidak segera menyusun Peraturan Bupati/Walikota, maka desa bisa menyampaikan aspirasi atau mengusulkan kepada Bupati/Walikota. Tetapi jika Peraturan/Walikota tidak terbit bukan berarti proses di desa harus berhenti. Desa dapat menggunakan pedoman Permendesa No. 1/2015 untuk memilih dan menetapkan kewenangan desa sesuai dengan kondisi dan kebutuhan desa. Sesuai dengan prinsip keberagaman dan prakarsa desa setempat, maka desa berhak menambah daftar kewenangan lokal dan kewenangan hak asal usul.

Pertanyaan :

Bagaimana bila Dana Desa dicairkan tetapi Peraturan
Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal
Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa belum
ditetapkan?

  
Penjelasan ;
Berdasarkan teori dan sistematika UU Desa, kewenangan desa mendahului dan menjadi dasar penyelenggaraan pemerintahan desa, keuangan desa, perencanaan dan penganggaran desa, hingga peraturan desa. Sebaiknya Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa terbit lebih dulu sebelum Peraturan Bupati/Walikota tentang pencairan dana desa yang bersumber dari APBN. Tetapi UU Desa beserta peraturan pelaksanannya tidak secara tersurat mengharuskan Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa terbit lebih dulu sebelum Peraturan Bupati/Walikota tentang pencairan dana desa. Oleh karena itu dana desa bisa dicairkan lebih dulu dengan dasar Peraturan Bupati/Walikota tentang pencairan dana desa, meskipun belum terbit Peraturan Bupati/Walikota tentang Kewenangan Berdasarkan Hak Asal Usul dan Kewenangan Lokal Berskala Desa.

Pertanyaan :

Sejauh mana kewenangan desa dalam UU Desa dapat
mengikat proses perencanaan dan penganggaran desa?

Penjelasan ;
Pasal 79 UU No. 6/2014 menegaskan: “Pemerintah Desa menyusun perencanaan Pembangunan Desa sesuai dengan kewenangannya dengan mengacu pada perencanaan pembangunan Kabupaten/Kota”. Artinya kewenangan desa, baik kewenangan berdasarkan hak asal-usul dan kewenangan lokal berskala desa, menjadi dasar yang mengikat perencanaan Pembangunan Desa.

COMMENTS

PropellerAds
PropellerAds
PropellerAds
Name

Aceh,8,Al-Ilmu Nuurun,4,Antar Muka,2,Berita,36,Daerah,3,Ekbis,9,featured,8,Finansial,4,Gadgets,1,Hukum,9,Internasional,2,Islam,16,KPK,4,Lifestyle,4,Lokal,11,Luar Negeri,2,Nasional,32,Olah Raga,1,Opini,16,Otomotif,3,Peradaban Islam,7,Pojok Cerita,12,Politik,2,Ramadhan,6,Reusam,9,Ruang Desa,3,Rubrik,18,Sejarah,14,Seni dan Budaya,2,Serba serbi,12,Video,3,
ltr
item
Lensa Beelte: KEWENANGAN DESA
KEWENANGAN DESA
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmCAWZJBeIGwSQRz8zLZjKnH0fWSBzpi1h7nE0TP3Cxdw7NQ39F3wVX2fGRVYzP-cMFOeio14ZnX79igARRusrSwyJGEaiSYXY1O6L5lFUSI_UCLVURDKg9uDHXMAz5VbVDgx11dfOMrni/s640/buku-1-kemendesa.png
https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmCAWZJBeIGwSQRz8zLZjKnH0fWSBzpi1h7nE0TP3Cxdw7NQ39F3wVX2fGRVYzP-cMFOeio14ZnX79igARRusrSwyJGEaiSYXY1O6L5lFUSI_UCLVURDKg9uDHXMAz5VbVDgx11dfOMrni/s72-c/buku-1-kemendesa.png
Lensa Beelte
http://blangteumulek2017.blogspot.com/2017/05/kewenangan-desa.html
http://blangteumulek2017.blogspot.com/
http://blangteumulek2017.blogspot.com/
http://blangteumulek2017.blogspot.com/2017/05/kewenangan-desa.html
true
7148900875614583633
UTF-8
Loaded All Posts Not found any posts VIEW ALL Readmore Reply Cancel reply Delete By Home PAGES POSTS View All RECOMMENDED FOR YOU LABEL ARCHIVE SEARCH ALL POSTS Not found any post match with your request Back Home Sunday Monday Tuesday Wednesday Thursday Friday Saturday Sun Mon Tue Wed Thu Fri Sat January February March April May June July August September October November December Jan Feb Mar Apr May Jun Jul Aug Sep Oct Nov Dec just now 1 minute ago $$1$$ minutes ago 1 hour ago $$1$$ hours ago Yesterday $$1$$ days ago $$1$$ weeks ago more than 5 weeks ago Followers Follow THIS CONTENT IS PREMIUM Please share to unlock Copy All Code Select All Code All codes were copied to your clipboard Can not copy the codes / texts, please press [CTRL]+[C] (or CMD+C with Mac) to copy